Senin, Mei 24, 2010

Celoteh cermin

Sambil berbaring, pikiran berpetualang jauh ke negeri dongeng. Distorsi warna dalam diri menyamarkan bayangan asli sosok si petualang mimpi. Tumpang tindih bagai tak berbentuk diantara : saya, aku dan gue. Padahal, apapun sebutannya tetap saja kami adalah satu kesatuan. Kenapa menyebut kami pada satu pantulan bayang di cermin? Dan untuk apa, menjadi bingung karena persoalan semacam ini. Merepotkan saja!

Saya adalah aku, dan aku ya gue gue juga, terus gue juga bisa jadi saya kok. Ah sudahlah mulai bercerita daripada saling meledakkan satu sama lain. *bernafas

.............................................
...........................

"saya akan mulai berbicara tentang sesuatu yang menurut saya akan bermanfaat buat anda semua, mengenai persoalan ..."

"heh sebenernya lo mau ngomong apa sih, kebanyakan ngemeng lo, ngantuk gue"

"sebaiknya anda diam dan dengarkan cerita saya dulu, dan satu lagi memotong pembicaraan orang itu tidak sopan"

"jiah sewot amat sih lo!"

"udah ,,, kok malah jadi berantem sih. Udah kamu sini duduk sebelah aku, kita dengerin dia dulu ya"

"ya udah deh gue diem, tapi lo bilang ama dia mukanya jangan ditekuk kaya gitu, terus lo suruh dia senyum, ok"

"bukannya aku ga mau ya, tapi sebaiknya kamu ngomong sendiri langsung deh"

"iya deh gue minta maaf udah motong omongan lo tadi"

"anda, saya maafkan"

"sebenernya sih gue pengennya kita berbagi cerita dan sorry to say ya, tadi gue sempet nganggap lo akan berceramah tentang segala sesuatu yang menurut gue sih omong kosong, makannya gue potong, sorry ya!"

"saya hargai kejujuran anda, dan saya juga minta maaf karena saya berpikir saya yang paling pintar disini, anda benar, kita seharusnya berbagi cerita"

"aku seneng deh kalo udah kaya gini, lebih baik kita mulai ceritakan apa saja, supaya kita saling memahami"

"iya dia bener tuh, kita musti saling memahami satu sama lain, eh by the way sebelum gue potong, tadi lo mau ngomong apa emangnya?"

"haha jujur saja, saya lupa"

"haha (dobel)"

"sorry lagi deh. Gue jadi feeling guilty gini"

"kamu sih!"

"saya tidak apa - apa, anda tidak usah merasa bersalah seperti itu"

"terus, sekarang mau ngomongin apa nih kita. Lo ada ide?"

"kalo kata aku sih mending kamu tanya dia tentang apa yang dia pikirin deh"

"iya tuh bener, emang lo lagi mikirin apa sih? Gue liat muka lo kaya orang yang mumet gitu"

"saya sedang memikirkan kita"

"kita? (dobel)"

"iya kita!"

"tentang apa?"

"hidup"

"wiiis, berat amat pikiran lo, hehe"

"hooh, aku juga dongdong nih"

"hahaha (triple)"

............................................
........................

"saya usulkan untuk kita jalan beriringan, saling mendengarkan satu sama lain dan tidak saling menggiring ya"

"setuju (dobel)"

Selasa, Mei 18, 2010

Maafkan saya, ibu

"Emosi, membuat telinga kami menjadi tuli dan lidah dibuat lincah melontarkan sumpah serapah"

Ada sesal setelahnya. Saya telah melukai perasaan ibu saya. Seharusnya, saya menghibur beliau, atau minimal mendengarkan apa yang ingin dikatakannya kepada saya. Saya jahat. Saya lepas kendali dan membiarkan rasa marah mengambil alih tubuh saya. Bukannya mendengarkan apa yang ingin diutarakannya, malah mencacahnya dengan lidah saya. Lalu hening. Tidak ada air mata. Hanya semburat raut kecewa diantara kami berdua yang sama - sama menyimpan luka. Hening. Hanya hening.

Hati berteriak "maafkan saya ibu" namun yang terdengar hanya suara kerongkongan yang menelan ludah secara paksa. Kami berbaring, punggung kami berhadapan. Kami sadar, lidah kami baru saja saling melukai. Ada sakit dan perasaan bersalah dalam hati saya. Setitik air mata jatuh di pipi. Semu. Untuk apa air mata ini? Tanpa jawaban yang jelas, Saya membiarkan alirannya menderas.

......................................
...................

Saya melihatnya sudah tertidur, deru nafas dalam tidurnya sama seperti orang sehabis sesunggukan.
"maafkan saya ibu" kembali hati saya berteriak bersama air mata yang kembali membanjir.
Saya jahat. Saya jahat. Saya jahat. Saya jahat, membiarkan ibu tidur dengan membawa kecewa dan luka. Saya jahat.
Apapun alasannya tidak seharusnya saya berbuat seperti itu. Meskipun hanya lewat kata - kata tetap saja tidak seharusnya saya melontarkan sumpah serapah kepadanya. Tidak boleh.

Lagu lama, menyesal tak pernah diawal, selalu saja datangnya belakangan.
"maafkan saya ibu" lagi - lagi hanya menjerit dalam hati dan kembali berair mata.

..................................
.................

Tangan lembut membelai rambut saya, sambil berkata "kenapa?" penuh perhatian. Itu suara ibu, ia terbangun, saya sedang memeluk kaki dengan wajah terbenam kedalam lutut. Kini ia merangkul saya yang sedang menggulung, diusapnya punggung saya. Kembali hening

"maafkan saya, ibu"

Dekapan ibu semakin erat.

"ibu juga minta maaf, nak"

Kami menangis bersama.